
Pria setengah baya itu duduk termangu didepan teras rumahnya, dia pandangi taman didepan rumahnya yang tampak asri. Beberapa pohon mawar dan anggrek sedang berbunga menampakkan keindahannya. Dia merasa hidupnya sepi karena sudah hampir 2 tahun dia bercerai dengan istrinya, sementara anaknya yang sudah beranjak remaja menjadi semakin sulit untuk nyaman di rumah. Mereka berdua lebih asyik dengan teman-teman sekolahnya atau menyendiri di kamar memainkan feature-feature di handphone kesayangannya.
„Hidupku sekarang tinggal memikirkan bagaimana aku membesarkan kedua anakku dan membantunya berhasil dalam kehidupannya“ , ucapnya pelan seakan hilang diterpa angin malam yang sejuk berhembus.
„Selamat Malam“, tiba-tiba dia dikejutkan dengan seorang laki-laki tua berbaju lusuh namun berwajah lembut.
„Selamat Malam“, jawab pria setengah baya itu agak terkejut.
„Saya melihat anda sedang duduk melamun di teras rumah, apa gerangan yang anda fikirkan sahabatku,“ tanya laki-laki tua tersebut dengan suara berwibawa.
Entah mengapa pria setengah baya ini merasa dekat setelah laki-laki tua itu menyebutnya sahabat. Tergerak hatinya untuk berkata jujur.
„Aku sedang memikirkan kehidupanku, setelah dua tahun lalu aku bercerai dengan istriku aku merasa hidupku menjadi sepi. Dua orang anakkupun sudah sibuk dengan aktivitasnya masing-masing“ , ucap sang pria tengah baya.
„Mengapa engkau bercerai dengan istrimu, padahal engkau pasti tahu engkau akan kesepian sepeninggalnya“ , kata laki-laki tua itu sambil beringsut duduk disamping pria tengah baya.
„Sudah banyak hal yang tidak cocok diantara kami, kami memilih jalan hidup masing-masing karena kami sudah sangat sering tidak bersepakat atas banyak hal“, pria tengah baya itu berkata agak tinggi, masih ada aroma kemarahan dan kesedihan di balik kata-katanya.
„Banyak orang yang berkata sama sepertimu. Beberapa orang memilih berpisah jalan namun beberapa orang terus menjalaninya dan tidak lelah belajar beradaptasi“, laki-laki tua tersebut berkata sambil memegang punggung pria tengah baya. Lalu dia melanjutkan perkataannya lagi. „Tidak pernah ada yang sempurna dalam menjalin hubungan. Semua orang punya hasrat untuk dimengerti. Namun sahabatku, hidup adalah tentang bagaimana kita memberi kepada orang lain. Menahan dominasi „aku“ adalah pemberian yang luar biasa untuk orang lain. Pada saat kita merasa bahwa pendapat kita lebih baik dari pasangan hidup kita, sesungguhnya kita sedang meminta kepada orang lain bukan memberi.“
Pria tengah baya itu menatap tajam laki-laki tua disampingnya, dia merasa dipojokkan.
„Tapi aku ingin hidup bahagia dengan orang yang mau mengerti dan mendukung keputusan-keputusan yang aku buat“.
Tiba-tiba laki-laki tua itu tertawa keras, „Hahahahahahahahha. ... sahabatku... sahabatku, apa yang diinginkan oleh bekas istrimu pun sama, dia juga ingin bahagia dengan pasangannya dan didukung semua keputusan-keputusan nya. Kalau semua berfikir seperti itu, betapa sempitnya dunia. Dunia akan penuh dengan dominasi-dominasi „aku“ yang menyesakkan. Tidakkah kamu pernah merasa bahwa menjadi bagian yang tidak dominan dari keputusan orang lain pun membahagiakan. Pada saat kamu masih begitu mencintainya maka dorongan untuk dominan itu pergi menjadi rasa mengalah yang indah“.
Laki-laki tua itu kini mengenggam erat tangan pria tengah baya,
„Mencintai itu memberi, mencintai itu membuat ruang gerak yang lebih bebas untuk orang yang kita cintai, mencintai itu selalu memberi hikmah terhadap semua perbedaan, mencintai itu bukan bentuk-bentuk kewajiban yang harus dilakukan. Tuhan begitu mencintai hambanya tetapi selalu membuka banyak pilihan. Sahabatku, didalam diri setiap manusia ada keikhlasan untuk menjadi bagian dari orang lain, jangan pernah padamkan. Karena jika keikhlasan itu padam maka satu per satu orang yang kita cintai akan pergi“.
Pria tengah baya itu nampak tertunduk. Perlahan-lahan laki-laki tua itu pergi tanpa berpamitan, meninggalkan pria tengah baya sendirian.
Pria tengah baya itu menarik nafas dalam, dipegangi dadanya seakan ingin membangkitkan sebuah keikhlasan yang terpendam, ada denyut disana yang membuatnya menjadi lebih lega.
Dari dalam rumahnya, dua orang anaknya tiba-tiba memanggil.
„Yah, temani kami nonton dong !“.
Pria tengah baya itu bangkit dengan lebih ringan. Terima kasih Tuhan baru saja utusanmu mampir sebentar.
Selamat menjalani hari dengan penuh rahmat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar